Catatan : Zulkifli, Dewan Pengarah 24SMNew
Sederhana. Demikian sosok Kapolda Sumut Irjen Pol Agung Setya Imam Efendy SH SIK MSi. Selasa (19/9/2023) lalu, dua jam berdialog di ruang kerja Sang Jendereal Bintang Dua, lantai dua gedung Mapolda Sumut Kota Medan, saya menyaring pemikiran sang mantan Asisten Operasi Kapolri tersebut secara teliti.
Membawa putra saya, Habib Syuhada, saya diterima berkunjung sekira pukul 09.20 WIB. Dunia media massa era disrupsi jadi pembuka obrolan saya dengan mantan Kapolda Riau ini. Temanya langsung bikin dahi berkernyit.
“Siapa yang diuntungkan jika grafik pembaca di media online naik, viewers-nya nambah?” sorong Irjen Agung.
Setelah pertanyaan itu, saya pun serasa mendapat hentakan dosen penguji sidang skripsi. Pertanyaan-pertanyaan rada berat terlontar darinya.
Sebagai jenderal bintang dua yang kenyang malang melintang di dunia reserse, Irjen Agung tentu kaya ilmu. Selama 120 menit berdialog, banyak kesimpulan yang saya dapat.
Selain sederhana, jenderal penanggung jawab keamanan Sumatera Utara (Sumut) ini juga sosok tak ingin menonjolkan diri. Karena itu, sekaliber apa pun penulis andal ingin membuat buku biografinya, itu akan disebutnya sebagai urutan ke-100 dari ragam rencana hidupnya.
Meski bukan asli orang Sumut, Agung ingin pemikirannya memberi kemajuan propinsi ini. Mulai kesetiaan dalam persahabatan, atau cara berfikir yang selalu positif dalam menyelesaikan segala persoalan. Irjen Agung memang jenderal sederhana dengan pemikiran kaya.
Kesederhanaan Jenderal Agung di antaranya terlihat dari smartphone. Di benak banyak orang, sosok pejabat tinggi pasti memiliki handphone keluaran terbaru. Tapi itu tak digunakan Agung. Di sela percakapan, Jenderal Agung sesekali terlihat membalas percakapan WhatsApp dengan mengenakan Samsung.
Soal prestasi sebagai personil Polri, tak terhitung kasus yang diungkapnya. Kawanan ‘Rambo’ penebang hutan bahkan tak berdaya saat Agung menjabat Kapolda Riau.
Nah, kini, baru dua bulan menjadi Kapolda Sumut, ratusan pengedar narkoba dari 33 kabupaten/kota propinsi ini dibuatnya tiarap.
Pun kaya prestasi, ‘ilmu padi’ agaknya menyerap dalam diri Jenderal Agung. Makin tinggi kiprahnya, dia semakin merunduk. Agung tak ingin dinilai baik, apalagi disuguhi puja-puji.
Agung memang tak ingin diagungkan oleh sesama. Meski sejak lahir dirinya selalu disapa Agung. Dia hanya ingin, bekerja dengan adab.
Teruslah berkarya Jenderal Agung. (***)